Gunungsari dan Godril, Gerak Kebudayaan dalam Bingkai Sejarah Tayub (1)
Perkembangan Tayub di Era VOC
Pada perkembangannya, tradisi tandak yang merupakan cikal bakal Godril dan Gunungsari mengalami pergeseran makna. Tandak, atau sering juga disebut tayub menjadi budaya pesta, yang sangat disukai dan dipopulerkan oleh kaum Belanda pada saat itu. Kita semua tahu, bahwa selama negeri ini dijajah oleh Kumpeni Belanda, mereka tak hanya memberikan penderitaan bagi bangsa ini, tapi juga banyak unsur budaya baru yang bercampur ke dalam beberapa seni budaya kita.
Belanda awalnya mempopulerkan Tayub di Semarang, lalu membawanya ke seluruh wilayah di Jawa. Tayub ala Belanda inilah yang merubah sebagian bentuk asalnya. Tradisi ini selalu digelar dengan suguhan minuman keras.
VOC datang ke Nusantara tentu meninggalkan anak istri dan keluarganya di Belanda. Orang-orang itu, yang di negerinya biasa melepas penat dengan minum minuman keras di bar-bar, berdansa dan bernyanyi, juga ingin berpesta seperti itu di Nusantara untuk menghabiskan malam.
Di Lumajang dulu juga ada Gedung Rakyat, yang sekarang menjadi Gedung Soedjono. Dulu di Gedung Rakyat itu sering digelar pesta-pesta dansa oleh kaum Belanda.
Saat Belanda melihat Tayub sebagai hiburan rakyat kala itu, mereka memanfaatkannya untuk pelampiasan hiburan. Gunungsari dan Godril saat itu memang gerak berpasangan pria dan wanita. Kaum Belanda saat itu menjuluki Tandak sebagai "Dancing van Java" atau dansanya orang Jawa.
Festival Tari Godril pada Harjalu 761 via Ainul Yakin
Para penari tandak (penandak) wanita yang memakai kemben, diajak menari bergantian oleh hadirin yang hadir. Yang mengajak menari para penandak itu biasanya para pembesar, benar-benar seperti suasana pesta. Dengan suguhan minuman keras, orang-orang Belanda saat itu menikmati penari Tandak dengan tubuh mereka yang dibalut kemben.
Meskipun banyak pihak yang menganggap Budaya Tandak merupakan penghinaan terhadap tari asli Nusantara saat itu, Tandak saat itu merupakan hiburan yang dianggap wah oleh banyak kalangan. Pesta-pesta yang dihibur oleh Tandak digelar di berbagai kesempatan. Bangsawan-bangsawan di Jawa saat itu menggelar Tandak, sebagai hadiah hiburan bagi lurah dan bekel di daerah administratifnya.
Upaya Belanda saat itu untuk memasukkan unsur budayanya ke dalam budaya Jawa tak hanya sebatas itu, beberapa pakem tari termasuk pakem pakaiannya juga dibentuk oleh Belanda. Untuk hal ini tentu kita paham, bahwa dalam catatan sejarah disebutkan bahwa pakaian-pakaian bangsawan keraton di Jawa didesain oleh desainer yang didatangkan Belanda.
Tandak dari awal penarinya memang memakai kemben, seperti layaknya busana wanita Jawa kala itu. Pesta Tayub yang hingar bingar dengan pesta minuman keras, yang lalu menjadi obyek pemuas syahwat para lelaki di pesta Tayub dengan tubuh sintal penari Tandak menjadi pemandangan vulgar kala itu.
Tak jarang penari Tandak dipeluk, dipangku dan dibopong kesana kemari. Unsur seni rakyat itu sendiri sudah kehilangan maknanya karena pengaruh penjajah. Karena itu pemerintah Indonesia kemudian sempat melarang Tayub, karena dinilai bertentangan dengan tradisi moral. Tayub dan Tandak tetap hidup di tangan para pelestari budaya, tentunya dengan lebih mengadopsi nilai ketimuran, penarinya tidak memakai kemben lagi tapi memakai kebaya.